22 Mac 2011

Lagi Cerita Tentang Bangsa Yang Tabah

Rukuzentakata — Tiga malapetaka telah melanda Jepun, negeri pulau yang terkenal kerana sushi, Sony, dan Samurainya itu.

Gempa bumi dahsyat menerjang sebelah timur laut negeri itu, diikuti oleh bencana tsunami dan reaktor nuklear yang bocor mengeluarkan radiasi.

Ribuan orang mati, dan harapan begitu pudar untuk menemukan 12,000 orang yang dinyatakan hilang.

Selama berhari-hari dunia menyaksikan mangsa terselamat yang kebanyakan orang tua dan tinggal di desa-desa seperti Minami Sanriku dan Rikuzentakata, menderita, kehilangan orang-orang tercintanya, dan diserang udara dingin.

Seorang wanita berumur 85 tahun yang kehilangan saudaranya akibat tsunami bernaung di sebuah pusat pengungsian di Rikuzentakata di Prefektur Iwate.

Sakiko Kono, nama nenek itu, mengatakan, dia lari dari desanya di dekat pantai, di mana sebelum ini tinggal menyendiri.

"Semua orang mengalami saat yang sulit, maka itu saya hanya ingin bertahan," kata Kono.

Bahkan, bagi orang Jepun yang terbiasa dianggap sebagai contoh manusia yang bertanggung jawab, berani, dan berdaya tahan, bencana ini memaksa mereka untuk merenungkan kembali siapa mereka sebenarnya.

Tapi ini bukanlah kehormatan Samurai dan reputasi perilaku matang serta kesangatsopanan yang memenuhi jiwa mereka. Ini jauh lebih sederhana dari itu.

Ini adalah soal bencana yang kembali mendekatkan lagi Jepun ke akar agrarisnya, bertahun-tahun dari masa moden Japan Inc.

Ketabahan yang terlihat di Tohoku, istilah geografis untuk negara ini, adalah milik kaum petani dan nelayan Jepun, bukan pejuang atau pengusaha.

"Di pusat masyarakat petani adalah wujud bahwa sekeras apa pun anda bekerja, cuaca yang berubah dapat membuatmu kehilangan," kata penyair Kundo Koyama. "Itu adalah budaya ketidakberdayaan."

Menolak bantuan luar

Koyama, penulis senario untuk filem peraih Oscar 2008 Departures, dan tinggal di Yamagata, salah satu wilayah di timur laut yang terkenda gempa dahsyat, yakin bahwa akar masyarakat petani inilah yang menjadi jalan bagaimana orang dapat bersama-sama.

"Perasaannya adalah menyimpan persediaan, menolong sesama, dan menjadi masyarakat yang kendiri bertahan," katanya.

Sekalipun jauh dari tanah airnya, orang-orang Jepun selalu melihat ke dalam ketika menyangkut kekuatan dirinya dan bahkan akan malu ditawari bantuan oleh orang luar.

"Dengan penuh hormat, kami menolak menerima bantuan dari luar," kata Tomoko Hirai, yang tinggal di London, sementara anak-anaknya belajar di sebuah sekolah Inggeris.

"Ini yang menjadi pertimbangan pemerintah kami, baik di masa ini maupun selama gempa bumi Kobe (1995) yang menewaskan lebih dari 6,000 orang," sambung Hirai.

Manakala relawan pemadam kebakaran bernama Takao Sato (53) mengetahui bosnya di pemadam kebakaran dan saudara iparnya hilang ditelan bencana, dia tidak berhenti bekerja demi mencari kedua kerabatnya itu.

Sebagai deputi di bahagiannya, Sato mengisi pos yang dulu diisi bosnya dan melanjutkan operasi mencari jenazah.

"Saya bertugas untuk masyarakat," katanya.

Perilaku yang tidak egois itu kerap digugahkan di Jepun oleh pujangga kelahiran Iwate, Kenji Miyazawa, yang kebelakangan ini terus dikutipkan untuk menggambarkan kemahaberanian masyarakat timur laut Jepun.

Sebuah akhbar Amerika menjuluki para jurutera berpakaian seragam antiradiasi yang dengan gagah berani menantang bahaya radiasi untuk terus bekerja di reaktor-reaktor nuklear, dengan sebutan "The Fukushima Fifty".

Surat khabar Asahi Shimbun menyamakan para jurutera pemberani ini dengan cerita kepahlawan karya Miyazawa tentang seorang anak yang mengorbankan diri untuk menyalakan gunung berapi demi menyelamatkan penduduk desa dari kebekuan yang mematikan selama musim dingin yang menusuk kulit.

Sebuah bait puisi Miyazawa berbunyi "Ame ni mo makezu" yang melukiskan daya tahan manusia dalam menghadapi alam, dikutip oleh aktor Ken Watanabe yang kemudian disiarkan oleh radio internet ke seluruh negeri.

Di jantung semangat tabah masyarakat Jepun timur laut adalah pentingnya untuk senantiasa bertalian satu sama lain dengan masyarakat mereka.

"Pada situasi seperti ini, saya tak ingin mengatakan hal-hal buruk mengenai orang lain atau menyalahkan mereka. Itu semua membuat saya sedih," kata Sakari Minato, penjual kereta berusia 47 tahun di Yamadamachi yang juga di Wilayah Iwate.

Rumahnya dihancurkan gelombang tsunami. Dia dan keluarganya kini tinggal di rumah kerabatnya.

"Pada waktu seperti ini, yang paling penting adalah berhungan dengan orang-orang," katanya.

Bahkan di masa krisis, penduduk timur laut Jepun yang kota mereka gelap gelita, kembali ke akar komunitinya.

"Saya tak pernah mengira kota kelahiranku akan seperti ini," kata penyanyi Masao Sen ketika mengunjungi pusat pengungsian Sakiko Kono.

Sen yang asli orang Rikuzentakata adalah artis terkenal di Jepun.

Penyanyi balada lagu-lagu "enka" yang telah berusia 63 tahun dan kerap menggambarkan kehidupan yang keras di wilayah timur laut itu, berbagi semangat dengan para korban ketika anak-anak dan orang tua mengerumuninya untuk berjabat tangan dan berfoto.

"Jepun tidak jatuh panik dan tidak kehilangan ketertibannya. Di negeri-negeri lain mungkin ada rompakan. Inilah standard hidup tinggi rakyat di sini," kata Masao Sen. - ANT

Tiada ulasan: