Berlin - Sewaktu berpindah ke bahagian barat Jerman, di masa runtuhnya tembok Berlin, Sayed Mann, kala itu 12 tahun, adalah budak yang tengah bingung mencari identiti diri. Keluarganya berasal dari Jerman Timur.
Tumbuh besar di lingkungan sosialis, agama tidak pernah ada dalam kamus keluarga dan hidupnya. Ia cenderung tersenyum sinis saat melihat orang-orang pemeluk keyakinan tertentu, termasuk Muslim.
Di Jerman Barat ia melihat situasi yang berbeza. Imigran lebih banyak dijumpai dan ia pun berkawan dengan beberapa orang asing.
"Saya tidak terbiasa dengan kehidupan baru ketika itu," aku Sayed. "Kami tiap hari hidup seperti sampah. Idola kami adalah orang-orang kulit hitam Amerika yang tinggal di pemukiman yang terpencil," tuturnya.
Mengidolakan mereka, lelaki yang dulunya bernama Sved Mann itu pun juga mencontoh perilaku para imigran itu. "Saya melakukan banyak hal buruk termasuk mencuri dan sebagainya," kenang Sayed.
Hingga akhirnya ia bertemu dengan seorang imigran berasal dari Turki yang menjadi kawan akrabnya. Si kawan itulah yang kemudian mengenalkan Sayed pada Islam dan berhasil mengajaknya memeluk agama tersebut.
Kawan Sayed memiliki abang lelaki seorang imam masjid tempatan. Ketika si adik memberi thau niatnya untuk mengajak Sayed berkunjung ke masjid, sang imam mengaku pesimis.
"Saya bilang, 'Dia? Tidak Mungkin'. Tapi adik saya sudah bertekad bulat. Bahkan ia mengatakan Sayed akan memeluk Islam sepulangnya saya dari bepergian," tuturnya.
Tiga bulan kemudian, ketika si imam pulang kembali ia tiba-tiba disambut oleh Sayed dengan sapaan Assalamu'alaikum. "Wow saya terkejut. Ini benar-benar luar biasa," ujarnya. "Saya bahkan sempat bertanya (pada Sayed) 'Apa yang terjadi padamu?'".
Rupanya si imam memahami selama ini Sayed selalu mencari, namun ia tak pernah-pernah meluangkan waktu dan cenderung mengabaikan untuk pertimbangan yang bersungguh-sungguh.
"Ia mengatakan selalu percaya dengan kewujudan Tuhan, saya kira itulah yang menuntun dia," kata si imam. "Saya melihat ia bahagia setelah menemukan Islam.
Kini si imam bahkan menjadi guru mengaji Sayed. Dengan disiplin ia belajar bahasa Arab supaya dapat membaca Al Qur'an.
Tapi Sayeed tak ingin disebut pindah agama. "Tak pernah ada istilah berubah agama dalam Islam," ujarnya. "Dalam Al Qur'an disebutkan tak ada paksaan dalam beragama," imbuh Sayed lagi.
Lalu? "Saya lebih suka menganggapkan sebagai 'seseorang telah mengenalkan saya pada Islam dan saya menuju agama itu," kata Sayed.
Ketika ditanya oleh Cengiz Culture, sebuah projek bebas pembuatan filem dokumentari tentang agama dan budaya di Jerman, mengapa ia memilih Islam, dengan mantap Sayed menjawab, "Kerana pada akhirnya semuanya adalah, Islam," ujarnya menekankan pada makna kata tersebut yakni berserah diri.
Ia telah mengucapkan ikrar dengan syahadat sepuluh tahun lalu. Sejak saat itu ia rajin membaca untuk mengetahui dan mengenal lebih dalam apa makna Islam, termasuk bagi dirinya.
Islam bagi Sayed adalah menyerahkan keinginan diri di bawah kehendak Tuhan. Mengapa ia mahu melakukan? "Kerana dengan itu nanti saya dapat bertemu dengan Pencipta saya, saya dapat menjumpai syurga. Saya berhak untuk itu dan saya kira itulah Islam menurut saya saat ini," papar Sayed ketika ditanya esensi Islam.
Sejak sepuluh tahun pula, Sayed melakukan solat lima kali dalam sehari. "Ketika anda solat anda "ditiadakan" dan istirahat dari dunia dan seluruh isinya. Anda membersihkn dan menghadap Pencipta," ujarnya.
Ia mengaku tak ada strategi khusus untuk melakukan solat lima kali dalam sehari di Jerman. "Setiap orang pasti bisa menemukan tempat untuk berwudhu, membasuh diri dan melakukan solat," ujarnya tanpa beban.
Sayed mengaku menemukan keyakinannya setelah diskusi panjang dengan si kawan tadi dalam satu malam. "Setelah itu saya langsung menyatakan ingin pergi ke masjid bersamanya," ungkap Sayeed.
Ketika itu subuh dan seorang anak kecil tengah melantunkan ayat-ayat suci Al Qur'an. Tiba-tiba Sayed pun menangis. "Saya tidak tahu mengapa. Saya tidak faham bahasa Arab, saya tidak tahu apa yang ia baca, tidak tahu apa pun," kenangnya.
"Tapi hati saya jelas telah memahami sesuatu. Itu benar-benar pengalaman luar biasa," tutur Sayed. "Saya yang hidup di jalan ala gangster tiba-tiba boleh menangis dan tidak tahu mengapa."
Kini selain ketenangan dan keteraturan hidup Sayed juga menemukan hal berharga lain dalam Islam. "Ketika anda menjadi seorang Muslim, anda kehilangan teman tetapi anda mendapatkan saudara," ujarnya. Dengan segera anda menjadi anggota sebuah keluarga. Ini sesuatu yang tidak bisa saya peroleh dalam gereja-gereja di Jerman."
Tumbuh besar di lingkungan sosialis, agama tidak pernah ada dalam kamus keluarga dan hidupnya. Ia cenderung tersenyum sinis saat melihat orang-orang pemeluk keyakinan tertentu, termasuk Muslim.
Di Jerman Barat ia melihat situasi yang berbeza. Imigran lebih banyak dijumpai dan ia pun berkawan dengan beberapa orang asing.
"Saya tidak terbiasa dengan kehidupan baru ketika itu," aku Sayed. "Kami tiap hari hidup seperti sampah. Idola kami adalah orang-orang kulit hitam Amerika yang tinggal di pemukiman yang terpencil," tuturnya.
Mengidolakan mereka, lelaki yang dulunya bernama Sved Mann itu pun juga mencontoh perilaku para imigran itu. "Saya melakukan banyak hal buruk termasuk mencuri dan sebagainya," kenang Sayed.
Hingga akhirnya ia bertemu dengan seorang imigran berasal dari Turki yang menjadi kawan akrabnya. Si kawan itulah yang kemudian mengenalkan Sayed pada Islam dan berhasil mengajaknya memeluk agama tersebut.
Kawan Sayed memiliki abang lelaki seorang imam masjid tempatan. Ketika si adik memberi thau niatnya untuk mengajak Sayed berkunjung ke masjid, sang imam mengaku pesimis.
"Saya bilang, 'Dia? Tidak Mungkin'. Tapi adik saya sudah bertekad bulat. Bahkan ia mengatakan Sayed akan memeluk Islam sepulangnya saya dari bepergian," tuturnya.
Tiga bulan kemudian, ketika si imam pulang kembali ia tiba-tiba disambut oleh Sayed dengan sapaan Assalamu'alaikum. "Wow saya terkejut. Ini benar-benar luar biasa," ujarnya. "Saya bahkan sempat bertanya (pada Sayed) 'Apa yang terjadi padamu?'".
Rupanya si imam memahami selama ini Sayed selalu mencari, namun ia tak pernah-pernah meluangkan waktu dan cenderung mengabaikan untuk pertimbangan yang bersungguh-sungguh.
"Ia mengatakan selalu percaya dengan kewujudan Tuhan, saya kira itulah yang menuntun dia," kata si imam. "Saya melihat ia bahagia setelah menemukan Islam.
Kini si imam bahkan menjadi guru mengaji Sayed. Dengan disiplin ia belajar bahasa Arab supaya dapat membaca Al Qur'an.
Tapi Sayeed tak ingin disebut pindah agama. "Tak pernah ada istilah berubah agama dalam Islam," ujarnya. "Dalam Al Qur'an disebutkan tak ada paksaan dalam beragama," imbuh Sayed lagi.
Lalu? "Saya lebih suka menganggapkan sebagai 'seseorang telah mengenalkan saya pada Islam dan saya menuju agama itu," kata Sayed.
Ketika ditanya oleh Cengiz Culture, sebuah projek bebas pembuatan filem dokumentari tentang agama dan budaya di Jerman, mengapa ia memilih Islam, dengan mantap Sayed menjawab, "Kerana pada akhirnya semuanya adalah, Islam," ujarnya menekankan pada makna kata tersebut yakni berserah diri.
Ia telah mengucapkan ikrar dengan syahadat sepuluh tahun lalu. Sejak saat itu ia rajin membaca untuk mengetahui dan mengenal lebih dalam apa makna Islam, termasuk bagi dirinya.
Islam bagi Sayed adalah menyerahkan keinginan diri di bawah kehendak Tuhan. Mengapa ia mahu melakukan? "Kerana dengan itu nanti saya dapat bertemu dengan Pencipta saya, saya dapat menjumpai syurga. Saya berhak untuk itu dan saya kira itulah Islam menurut saya saat ini," papar Sayed ketika ditanya esensi Islam.
Sejak sepuluh tahun pula, Sayed melakukan solat lima kali dalam sehari. "Ketika anda solat anda "ditiadakan" dan istirahat dari dunia dan seluruh isinya. Anda membersihkn dan menghadap Pencipta," ujarnya.
Ia mengaku tak ada strategi khusus untuk melakukan solat lima kali dalam sehari di Jerman. "Setiap orang pasti bisa menemukan tempat untuk berwudhu, membasuh diri dan melakukan solat," ujarnya tanpa beban.
Sayed mengaku menemukan keyakinannya setelah diskusi panjang dengan si kawan tadi dalam satu malam. "Setelah itu saya langsung menyatakan ingin pergi ke masjid bersamanya," ungkap Sayeed.
Ketika itu subuh dan seorang anak kecil tengah melantunkan ayat-ayat suci Al Qur'an. Tiba-tiba Sayed pun menangis. "Saya tidak tahu mengapa. Saya tidak faham bahasa Arab, saya tidak tahu apa yang ia baca, tidak tahu apa pun," kenangnya.
"Tapi hati saya jelas telah memahami sesuatu. Itu benar-benar pengalaman luar biasa," tutur Sayed. "Saya yang hidup di jalan ala gangster tiba-tiba boleh menangis dan tidak tahu mengapa."
Kini selain ketenangan dan keteraturan hidup Sayed juga menemukan hal berharga lain dalam Islam. "Ketika anda menjadi seorang Muslim, anda kehilangan teman tetapi anda mendapatkan saudara," ujarnya. Dengan segera anda menjadi anggota sebuah keluarga. Ini sesuatu yang tidak bisa saya peroleh dalam gereja-gereja di Jerman."
Tiada ulasan:
Catat Ulasan