Aden – Ketika rakyat Mesir di Kaherah bersuka cita merayakan perletakan jawatan Husni Mubarak dari kerusi presiden, rakyat Yaman kini menuntut adanya revolusi di negara mereka.
Di selatan kota pelabuhan Yaman, para penunjuk perasaan berbaris menyusuri daerah Mansoura sambil mengibarkan bendera Arab Selatan dan berseru, "Revolusi, revolusi untuk selatan."
Menurut para saksi, beberapa jam sebelumnya, pasukan polis menembak gas sewaktu demonstrasi di tempat yang sama. Ratusan orang lainnya melakukan aksi demontrasi yang sama di Aden, juga di beberapa kota lain di Yaman selatan.
"Setelah Husni Mubarak, berikutnya adalah Yaman," kata Zahra Saleh, aktivis pemisahan diri, yang menyaksikan situasi di Kaherah melalui televisyen di pejabatnya di Aden.
"Revolusi Yaman mesti lebih kuat," ujar Ali Jarallah, pemimpin gerakan pemisah selatan yang duduk bersebelahan dengan Saleh.
Gerakan pemisahan diri Yaman bukan menuntut adanya reformasi politik, mengakhiri korupsi, atau menuntut berundurnya Presiden Ali Abdullah Saleh, seperti yang dilakukan pembangkang politik di ibukota Sanaa. Mereka menuntut diakhirinya pendudukan Yaman utara dan pemulihan kemerdekaan Yaman selatan.
Meskipun kedua demonstrasi tersebut terinspirasi dari pemberontakan di Tunisia dan Mesir, perbezaan tujuan dari demontrasi Yaman tersebut mewakili bagaimana kelompok anti pemerintahan di seluruh negara Arab membentuk tenaga revolusioner untuk menjalankan agenda mereka masing-masing.
"Apa yang terjadi di Mesir memberikan secercah harapan bagi pergerakan di selatan," kata Tammam Bashraheel, sidang pengarang akhbar Al Ayyam yang telah dilarang beredar di Aden.
Pemimpin pergerakan selatan dan mantan Wakil Presiden Ali Salim Al Beidh mengatakan apa yang terjadi di Tunisia dan Mesir mecerminkan sejarah baru yang dapat disamakan dengan berakhirnya perang dingin.
Dari keterangan media yang diberikannya seperti dikutip The Christian Science Monitor, Sabtu (12/2/2011), ia menyamakan demonstrasi di Yaman selatan dengan Mesir, dimana pemuda memainkan peranan utama.
Di selatan kota pelabuhan Yaman, para penunjuk perasaan berbaris menyusuri daerah Mansoura sambil mengibarkan bendera Arab Selatan dan berseru, "Revolusi, revolusi untuk selatan."
Menurut para saksi, beberapa jam sebelumnya, pasukan polis menembak gas sewaktu demonstrasi di tempat yang sama. Ratusan orang lainnya melakukan aksi demontrasi yang sama di Aden, juga di beberapa kota lain di Yaman selatan.
"Setelah Husni Mubarak, berikutnya adalah Yaman," kata Zahra Saleh, aktivis pemisahan diri, yang menyaksikan situasi di Kaherah melalui televisyen di pejabatnya di Aden.
"Revolusi Yaman mesti lebih kuat," ujar Ali Jarallah, pemimpin gerakan pemisah selatan yang duduk bersebelahan dengan Saleh.
Gerakan pemisahan diri Yaman bukan menuntut adanya reformasi politik, mengakhiri korupsi, atau menuntut berundurnya Presiden Ali Abdullah Saleh, seperti yang dilakukan pembangkang politik di ibukota Sanaa. Mereka menuntut diakhirinya pendudukan Yaman utara dan pemulihan kemerdekaan Yaman selatan.
Meskipun kedua demonstrasi tersebut terinspirasi dari pemberontakan di Tunisia dan Mesir, perbezaan tujuan dari demontrasi Yaman tersebut mewakili bagaimana kelompok anti pemerintahan di seluruh negara Arab membentuk tenaga revolusioner untuk menjalankan agenda mereka masing-masing.
"Apa yang terjadi di Mesir memberikan secercah harapan bagi pergerakan di selatan," kata Tammam Bashraheel, sidang pengarang akhbar Al Ayyam yang telah dilarang beredar di Aden.
Pemimpin pergerakan selatan dan mantan Wakil Presiden Ali Salim Al Beidh mengatakan apa yang terjadi di Tunisia dan Mesir mecerminkan sejarah baru yang dapat disamakan dengan berakhirnya perang dingin.
Dari keterangan media yang diberikannya seperti dikutip The Christian Science Monitor, Sabtu (12/2/2011), ia menyamakan demonstrasi di Yaman selatan dengan Mesir, dimana pemuda memainkan peranan utama.
Pemimpin Algeria Resah Gelisah
Kejatuhan Presiden Mesir Hosni Mubarak telah menyebabkan Pemerintah Algeria menjadi resah gelisah. Maka, pada Sabtu (12/2/2011) Pemerintah Algeria menyiapkan ribuan polis keselamatan untuk mencegah aksi penunjuk perasaan kelompok prodemokrasi.
Sebelumnya pemerintah melarang aksi demonstrasi di ibu kota Algeria, Algiers. Namun, kelompok pembangkang dan sejumlah pegiat hak asasi manusia masih diam. "Kami sudah siap untuk melakukan aksi ini," kata jurucakap parti pembangkang, Aksi untuk Kebudayaan dan Demokrasi (RCD), Mohsen Belabes.
"Ini akan menjadi hari yang luar biasa bagi kehidupan berdemokrasi di Algeria," ucapnya.
Mereka mengatakan, aksi ini dilakukan untuk menuntut keadaan kehidupan yang lebih baik dan kebebasan yang jauh lebih besar bagi masyarakat di negara tesebut.
Sebelumnya pada Jumaat (11/2/2011), sebagaimana warta AP dan AFP, polis tempatan juga mencegah rancangan sekelompok warga yang akan bertindak di jalan untuk merayakan jatuhnya Presiden Mesir Hosni Mubarak.
Untuk mengekang tindakanini, sejumlah penjagaan dilakukan di beberapa perempatan jalan utama. Polis menempatkan sejumlah kenderaan dan puluhan polis berjaga di sejumlah jalan. Sejumlah 15 trak polis juga dilihat berjaga-jaga sejak malam di Lapangan 1 Mei, yang akan menjadi titik awal aksi tersebut. Aksi demonstrasi ini akan dimulai pada pukul 11.00 waktu tempatan. Sementara itu pihak polis berupaya menghentikan kegiatan masyarakat yang dapat berkembang ke arah aksi yang lebih besar seperti di Mesir dan Tunisia.
Demonstrasi di Algeria telah dilarang sejak 1992 atau tepatnya sejak penguasa memberlakukan keadaan darurat di negara itu. Presiden Algeria Abdelaziz Bouteflika pada awal bulan ini mengatakan, perintah keadaan darurat dicabut dalam waktu tidak lama lagi.
Menurut media pemerintah, pernyataan Bouteflika ini disampaikan sewaktu berlaku pertemuan dengan sejumlah menterinya di Algeria. Dalam kesempatan itu, dia juga membolehkan warganya melakukan aksi demonstrasi dan protes di seluruh wilayah Algeria, kecuali di ibu kota negara tersebut, Algiers.
juga bangkitkan semangat rakyat malaysia menetang kezalimam BN/UMNO
BalasPadam